Kala Drama Pelatih Tak Lagi Mencuat

Kala Drama Pelatih Tak Lagi Mencuat

9 September 2025

BRI SUPER LEAGUE 2025-26

SUDAH empat pekan berlangsung. BRI Super League 2025/26 berjalan mulus. Klub-klub masih lengkap. Bahkan semakin lengkap. Tak seperti musim lalu.

Satu hal yang berbeda dari musim lalu, seluruh 18 klub masih bertahan dengan pelatihnya. Klub-klub masih konfiden dengan para penukang dan pengasah strategi bermainnya.

Musim lalu, banyak pelatih bertumbangan. Bahkan di awal musim. PSBS Biak hanya butuh tiga pertandingan untuk memecat Juan Esnaider, pelatih asal Argentina. Tiga kekalahan beruntun membuat mereka seperti tak lagi punya harapan.

Di pekan keempat, seperti dalam masa-masa seperti sekarang, sudah tiga klub yang berpisah dengan pelatihnya. Semen Padang FC menyudahi kontrak Hendri Susilo, sementara Madura United FC berpisah dengan Widodo Cahyono Putro.

Pergantian pelatih wajar dalam kompetisi. Tapi, memecat pelatih saat kompetisi baru berjalan di awal musim, adalah hal yang lebih banyak mudaratnya. Buktinya, Semen Padang atau Madura United, berkutat hingga akhir musim untuk menyelamatkan diri dari ancaman degradasi.

Musim ini, panggung sepak bola dunia dikejutkan dengan pemecatan Erik ten Hag dari Bayer Leverkusen. Dia diberhentikan saat klub tersebut baru memainkan dua laga di Kompetisi Bundesliga.

Pemecatan Erik ten Hag adalah rekor tercepat di dunia. Dalam waktu relatif singkat itu, dia belum mendapatkan ruang untuk menanamkan visi, membangun standar, membentuk tim, dan meninggalkan jejak pada gaya bermain Leverkusen.

Kenapa Ten Hag dipecat begitu cepat? Sampai pada titik ini, bukan pelatih Belanda itu yang keliru. Kekeliruan justru ada pada Leverkusen. Ekspektasi mereka begitu tinggi karena sukses yang dirajut di era Xabi Alonso sebelumnya.

“Sayangnya, manajemen tak bersedia memberi saya waktu dan kepercayaan itu. Saya menyesal karena sejak awal hubungan ini memang tidak pernah dilandasi rasa saling percaya,” katanya.

Saling percaya adalah modal utama yang dibutuhkan pelatih. Tak banyak juga yang percaya saat Persib menjatuhkan pilihan pada Bojan Hodak sebagai pengganti Luis Milla.

Bojan Hodak pelatih dengan reputasi bagus. Kenal sepak bola Asia Tenggara. Tapi, Persib kala itu dipenuhi pemain dengan gaya Latin. Ada David da Silva, Ciro Alves, Alberto Rordiguez, dan belakangan hadir Tyronne del Pino serta Gustavo Franca.

Hodak berhasil menerapkan gaya bermain seperti yang dia inginkan. Juara back to back BRI Liga 1 adalah buktinya.

Tapi, bukan berarti tak ada kekeliruannya. Pembelian Gervane Kastaneer, Mailson Lima, hingga Mateo Kocijan yang standarnya biasa-biasa saja, adalah salah satunya. Hanya, semua tertutup karena gelar juara.

Tidak ada pelatih yang sempurna. Tidak Pep Guardiola, Jose Mourinho, Luis Enrique, atau Xabi Alonso. Tidak pula Sir Alex Ferguson atau David Moyes.

Bagi publik Manchester United, salah satu pemicu runtuhnya kebesaran klub saat ini, tak bisa dilepaskan dari Ferguson. Saat mundur sebagai pelatih, dia memainkan peran membujuk petinggi Setan Merah menunjuk David Moyes sebagai penggantinya.

Moyes bukan pelatih sembarangan. Setidaknya dari sisi reputasi. Tiga kali dia terpilih sebagai pelatih terbaik versi Asosiasi Pelatih Liga (LMA) saat menukangi Everton.

Tapi, Manchester United tak belajar dari pengalaman 56 tahun lalu. Saat itu, Sir Matt Busby, pelatih terbesar klub sebelum Alex Ferguson, berperan dalam penunjukkan pelatih selanjutnya, Wilf McGuinness yang juga terbukti gagal.

“Seseorang harus tahu batasannya,” kata pengamat Harry Callahan menyindir Ferguson.

Sekitar 10 bulan setelah Ferguson meninggalkan kursi kepelatihan, dia pun mendapatkan pelecehan dari fans Setan Merah di tribun selatan. “Yang terpilih, yang meringis,” begitu bunyi spanduk di Stretford End.

Tak ada sukses instan dalam penanganan klub sepak bola. Pep Guardiola, pemilik Guardiolismo, gaya bermain kolektif dan menekan pertahanan lawan, tak bisa langsung sukses di musim pertama di klub sekaya Manchester City. Dia butuh adaptasi, perlu penyusunan kekuatan sesuai strategi yang dia inginkan.

Kalau dia kemudian menjadi pelatih paling sukses, setidaknya diukur dari trofi yang dia menangkan, adalah karena kepercayaan dan keteguhannya mempertahankan gaya yang telah dia kembangkan.

Klub-klub BRI Super League sepatutnya belajar dari sejarah panjang perjalanan pelatih-pelatih hebat dunia itu. Perlu memiliki konsistensi dan kesabaran agar gaya permainan bisa menyatu di dalam tim sehingga bisa membuahkan prestasi yang diharapkan.

Awal musim BRI Super League yang sudah memainkan empat laga, memberi harapan tak ada klub-klub yang serampangan lagi memecat pelatih. Jika ini bisa dipertahankan, maka kompetisi akan menghadirkan persaingan di antara beragam klub dengan banyak gaya permainan yang berbeda.

Sebagai sebuah industri, kondisi itu akan menghadirkan ragam pilihan bagi penggemar sepak bola. Dan, kecintaan terhadap klub, bukan lagi semata karena fanatisme sempit, melainkan permainan yang lebih menggugah. (era)